Bengkulu, Sentralnews.com- Tercatat pada November 2019 lalu harga Nilai Tukar Petani (NTP) Perkebunan mengalami kenaikan menjadi 79,80 dari 77,03 pada Oktober 2019. Akan tetapi nilai tersebut masih terendah bila dibandingkan dengan subsektor pertanian lainnya. Bahkan NTP di bawah 100 menandakan kenaikan harga produksi lebih kecil dibanding biaya konsumsi sehingga petani mengalami kerugian.
Ketua Serikat Tani Bengkulu, Muspani SH mengaku harga karet dan kelapa sawit memang sedang jatuh. Jatuhnya harga hasil perkebunan tersebut menyebabkan tanaman tidak dipelihara sehingga hasil panen kurang maksimal.
“Tanamannya rusak tak termanfaatkan. ngerawat-nya gimana? Mau rawat untuk
apa?,” kata Muspani, Sabtu (14/12) di Kota Bengkulu.
Muspani menuturkan, biaya panen jadi lebih mahal dibandikan tidak dipanen. Oleh sebab itu, ia menyarankan penggunaan kelapa sawit dalam negeri sebagai strategi alternatif atas terganggunya pasar di Eropa.
“Harus ada strategi alternatif agar penggunaan kelapa sawit di daerah bisa semakin maksimal dan harganya bisa meningkat seperti penggunaan kelapa sawit menjadi bahan bakar diesel,” sambungnya.
Sementara itu, untuk mengoptimalisasi permintaan terhadap karet, Ia menyarankan pencampuran karet alam dengan aspal yang kualitasnya lebih baik.
“Meskipun biaya produksinya lebih tinggi, tetapi petani terselamatkan,” tuturnya.
Disisi lain, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi
Bengkulu, Ir Ricky Gunarwan mengatakan, harga tandan buah segar kelapa sawit
yang ditetapkan pemerintah di tingkat pabrik yaitu, Rp 1.265,06. Dengan harga
terendah sebesar Rp 1.080,56 dan harga tertinggi Rp 1.449,56.
“Untuk saat ini harga sawit masih stabil belum ada kenaikan yang signifikan,” ujar
Ricky.
Sementara harga karet alam cenderung fluktuatif dimana harganya saat ini per
kilogram masih menyentuh Rp 6.000. (Lcy)