Bengkulu, sentralnews.com- Maraknya kasus pencabulan dalam beberapa waktu terakhir monggoreskan catatan kriminal di Provinsi Bengkulu. Seperti kasus pencabulan terhadap balita 2,5 tahun yang dilakukan oleh pamannya yang juga masih di bawah umur, terjadi di Bengkulu Tengah pada awal Januari 2020 kemarin.
Berdasarkan informasi yang dihimpun terakhir kali, pelaku pencabulan terancam hukuman mati dan hukuman seumur hidup atau minimal 10 tahun penjara. Hal ini disebutkan Kapolres Bengkulu Tengah, AKBP Andjas Adi Permana, S.IK bahwa pelaku disangkakan Pasal 81 ayat 1 ayat 3 ayat 5 dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Perlindungan Anak.
“Perbuatan itu berulang-ulang, tidak ada diversi, perkara berjalan normal seperti biasa. Bisa ancaman pidana, pidana mati, pidana seumur hidup atau penjara minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun,” kata AKBP Andjas saat Konferensi Pers pada Rabu (8/1) lalu.
Sementara itu, Psikolog Ainul Mardiati membeberkan alasan terjadinya kasus pencabulan tersebut. Ia menyebutkan, kemiskinan menjadi faktor utama terjadinya kasus pencabulan.
“Faktor kemiskinan memicu kasus-kasus kekerasan seksual. Selain itu pelaku tersebut usianya 15 tahun, tidak ada pengasuhan yang baik dari orang tua, sementara ibu korban menitipkan korban kepada pelaku. Pelaku ini kan suka nonton film porno, suka ngelem, dan minum, artinya secara tidak langsung pelaku ini berbahaya. Tapi ibu korban tidak menganalisa sampai kesana. Karena dia harus bekerja ke kebun,” beber Ainul Mardiati, Kamis (16/1) di Kota Bengkulu.
Selain faktor kemiskinan, Ainul menuturkan pendidikan agama yang diterapkan orang tua ikut andil dalam perilaku anak. Sebab, orang tua merupakan role model bagi anak-anaknya. Bahkan Ainul mengatakan, pendidikan seks seharusnya dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran.
“Sebenarnya bagus pendidikan seks dimasukkan ke kurikulum, itu bukan berarti berhububgan seks. Tapi ada dalam bentuk pendidikan reproduksi, ada hal-hal yang dikemas dengan baik, sehingga anak-anak nanti tau,” ungkap Ainul.
Saat ini, Ainul mengaku angka kasus pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan memang meningkat. Namun peningkatan tersebut justru berarti informasi yang disampaikan kepada masyarakat sudah diterima terkait untuk tidak malu melaporkan kasus-kasus pelecehan kepada dinas terkait.
“Meningkat itu bukan berarti gagal, artinya mereka melapor, berarti sekarang orang sudah berani melapor tidak sepertu dulu. Peningkatan bukan berarti kita gagal atas penanganan kasus. Justru artinya informasi yang kita sampaikan sudah sampai,” sambungnya.
Menurut Ainul, kasus pelecehan juga banyak datang dalam lingkungan internal. Karenanya setiap orang tua dituntut harus banyak berkomunikasi terhadap anak dan lebih teliti dalam melihat lingkungan di dalam rumah maupun bertetangga. Sementara itu, Ainul menyarankan pelaku pencabulan di Bengkulu Tengah tersebut mendaparkan rehabilutasi meski menjalani hukuman.
“Untuk sementara ini belum ada bimbingan ,kita serahkan ke kabupaten, nanti kita coba lagi hubungi. Seharusnya dihukum tapi harus direhab. Kan nanti ada tahanan anak, anak-anak tetap belajar pendidikan, dan setelah bebas anak-anak bisa mengkondisikan diri dengan baik,” pungkas Ainul. (Lcy)