Bengkulu, Sentralnews.com — Nama Ketua DPRD Provinsi Bengkulu, Sumardi, semakin terseret dalam kasus dugaan gratifikasi yang menyeret mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah. Dalam sidang yang digelar pada 30 April 2025, Hakim Faisol mempertanyakan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hanya menetapkan tiga tersangka, tanpa memasukkan nama lain yang terlibat salah satunya nama Sumardi yang disebut dalam persidangan.
“Ini banyak betul yang berikan uang, kenapa cuma tiga terdakwa yang dibawa ke pengadilan? Ini jangan tebang pilih,” ujar Faisol menyoroti selektivitas penanganan kasus oleh KPK.
Nama Sumardi muncul dalam catatan keuangan milik ajudan Rohidin, Evriansyah alias Anca, yang kini menjadi terdakwa. Ia diduga ikut menyetorkan dana sebesar Rp3,5 miliar bersama politisi lain untuk mendukung pencalonan Rohidin dalam Pilkada Bengkulu 2024. Dugaan ini menimbulkan pertanyaan mengenai motif politik Sumardi, yang belakangan menjabat sebagai Ketua DPRD secara mengejutkan.
Berdasarkan informasi, Sumardi awalnya tidak diunggulkan untuk menduduki kursi Ketua DPRD. Ia bukan bagian dari struktur kepengurusan inti partai. Namun, secara tiba-tiba ia terpilih dan dilantik, memicu dugaan adanya “imbalan politik” atas kontribusi keuangan yang diberikannya.
Aksi desakan kepada KPK pun terus bergulir. Pada Rabu, 21 Mei 2025, masyarakat yang tergabung dalam Gerakan LEKRA menggelar aksi demonstrasi di depan Pengadilan Negeri Bengkulu. Mereka menuntut KPK segera menetapkan Sumardi sebagai tersangka.
“Tangkap Ketua DPRD Provinsi Bengkulu, Sumardi,” seru para demonstran, yang juga membawa spanduk bertuliskan “Segera Tetapkan Tersangka Mata Rantai OTT Mantan Gubernur Bengkulu.”
Meski KPK sudah mengetahui ada nama Ketua DPRD Provinsi Bengkulu dalam lingkaran 3,5 Miliar tersebut, hingga kini Sumardi belum ditetapkan sebagai tersangka. Ketidaktegasan KPK dalam menindaklanjuti nama-nama yang muncul dalam persidangan dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat.
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pemberi suap dapat dikenai hukuman penjara 1 hingga 5 tahun serta denda hingga Rp250 juta. Jika terdapat unsur timbal balik dalam pemberian tersebut, ancaman pidana bisa lebih berat sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU yang sama.
Dengan tekanan publik yang terus menguat, harapan besar tertuju pada KPK untuk bertindak adil dan transparan. Publik meminta agar pemberantasan korupsi benar-benar dilakukan tanpa pandang bulu, demi menegakkan supremasi hukum dan menjaga integritas lembaga negara.



















