Nasional, sentralnews.com- Mahkamah Agung (MA) melakukan pembatalan terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang berlaku per 1 Januari 2020 lalu yang ada di Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dimana kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per jiwa, kelas 2 naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per jiwa, kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per jiwa.
Dilansir detik.com dari website MA, ternyata ada 3 versi putusan. Berdasarkan putusan yang didownload dari website MA, Kamis kemarin (2/4) ketiga putusan itu di-upload di direktori putusan MA. Putusan Nomor 7/HUM/2020 itu diketok oleh ketua majelis hakim agung Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Putusan pertama di-upload pada 31 Maret 2020 dan dua sisanya di-upload pada 1 April 2020.
Diketahui dari tiga versi putusan itu, terdapat beberapa perbedaan. Dalam versi 69 halaman, tidak ada pertimbangan: Kewenangan Mahkamah Agung Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Kemudian muncul versi 73 halaman. Dalam versi 73 halaman itu, muncul pertimbangan:
Kewenangan Mahkamah Agung
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, serta Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, ditegaskan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Agung adalah berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Bahwa peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 1 angka 2);
Bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yaitu:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
Bahwa di samping peraturan perundang-undangan di atas, ada peraturan perundang-undangan lain sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang ada delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon adalah Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (selanjutnya disebut Perpres Nomor 75 Tahun 2019) terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Agung, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 31 A ayat (2) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mengatur bahwa: Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
Perorangan warga negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
Badan hukum publik atau badan hukum privat.
Selanjutnya Pasal 1 ayat (3) PERMA RI Nomor 1 Tahun 2011 menyatakan:
Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang.
Bahwa dengan demikian, Pemohon dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi harus menjelaskan terlebih dahulu:
c. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
d. ada tidaknya haknya pemohon yang dirugikan sebagai akibat berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dimohonkan pengujian;
Menimbang bahwa Pemohon selaku organisasi Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia yang menganggap haknya dirugikan dengan diberlakukannya Perpres Nomor 75 Tahun 2019, mendalilkan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa pemohon adalah wadah atau organisasi Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia yang berbadan hukum, dibentuk berdasarkan Akta Pendirian Perkumpulan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tanggal 22 Mei 2017, Nomor: 18 di hadapan Notaris EMMY YATMINI, S.H.;
Bahwa KPCDI diisi oleh para pasien cuci darah dengan beragam latar belakang, yang keadaannya akan selalu berhubungan langsung dengan layanan kesehatan cuci darah;
Bahwa seusai dengan visi dan misi KPCDI sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 6 Akta Pendirian tersebut ditegaskan bahwa: KPCDI bertujuan mewujudkan komunitas yang mampu membangun persaudaraan dan solidaritas diantara sesama pasien cuci darah/hemodialisa, pasien PD/CAPD, pasien transplantasi ginjal, tenaga medis, dan anggota keluarganya, serta mengembangkan dirinya sebagai organisasi yang mampu mempengaruhi kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingan pasien cuci darah.”
Bahwa Pemohon merasa sangat dirugikan haknya karena kebijakan Pemerintah yang menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan sebesar 100% di tahun 2020 sebagaimana yang termuat dalam Perpres No. 75 Tahun 2019. Kenaikan tersebut menurut pemohon tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diterima karena bertentangan prinsip- prinsip penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional yang merupakan suatu Lembaga Nirlaba Murni sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
Dari 3 versi putusan MA itu, juru bicara MA hakim agung Andi Samsan Nganro akan mengeceknya. Termasuk putusan mana yang valid dari 3 versi itu.
“Mungkin besok (red: 3/4) baru bisa dapat jawaban dari kamar TUN,” ujar Andi Samsan Nganro. (red)