BP Batam Diduga ‘Mati Suri’ Mengatasi Lahan Mangrak

BATAM,SentralNews.com – Ribuan hektar lahan mangkrak atau lahan tidur di pulau Batam hingga saat ini belum rampung diatasi BP Batam. Belum diketahui pasti apa penyebabnya mengapa lahan-lahan mangkrak itu terkesan ada pembiaran dari BP Batam.

Parahnya, beredar rumor dilapangan, diduga lahan-lahan mangkrak tersebut mendapat backup dari para oknum pejabat atau pemangku kekuasaan.

Pantauan awak media ini, ribuan hektar itu terdapat di beberapa wilayah di Sagulung, Batu Aji, Batam Center, Bengkong, Kabil, Nongsa, Batu Besar, Tanjung Piayu, dan Sekupang. Bahkan, lahan-lahan mangkrak atau lahan tidur ini banyak yang tidak dipasangi plang pemiliknya. Dan ada juga hanya dipasangi pagar keliling selama bertahun-tahun.

Lukita Dinarsyah Tuwo saat kepala BP Batam.

Untuk diketahui, pada tahun 2018, Kepala BP Batam adalah Lukita Dinarsyah Tuwo. Dan dibawah kepemimpinannya, catatan BP Batam, luas lahan tidur mencapai 7.777,01 hektar yang tersebar di 2.737 lokasi di seluruh Batam. Ia menilai keberadaan lahan-lahan tersebut sebenarnya potensial, mengingat banyak investor yang mau masuk ke Batam butuh lahan untuk mendukung investasinya.

“Lahan itu faktor produksi yang utama. Sayang sekali bila dibiarkan tak dibangun. Kalau lahan yang ada untuk dibangun, BP Batam akan mendukung,” ujar Lukita. (net-red).

Namun sayangnya, dibawah kepemimpinan Lukita pun, BP Batam belum berhasil mengatasi ribuan lahan tidur atau mangkrak tersebut.

Setelah kepemimpinan Lukita, jabatan kepala BP Batam pun diduduki Edy Putra Irawady, pada acara Squawk Box di CNBC Indonesia, Rabu (19/9/2019), Edy blak-blakan membahas terkait lahan mangkrak atau lahan tidur dimaksud.

“Saya (BP Batam) nggak bisa ambil, harus lewat pengadilan. Kemudian 7.790 hektare, saya punya di Batam mangkrak, dikasih ke investor tapi dia nggak bangun-bangun,” kata Edy.

Soal lahan konsesi ke pihak ketiga, Edy mengatakan itu diberikan BP Batam terdahulu, namun tak dimanfaatkan sehingga menjadi lahan tidur. Dulu sebutnya, investor fokus menguasai lahan dibanding realisasi. Namun giliran pemerintah menariknya tidak mudah lantaran ada ada proses hukumnya.

Total menurutnya, terdapat 700 proyek mangkrak dari sekitar 7.790 hektare lahan tidur di tangan pihak ketiga itu. Soal tata niaga, Batam kini tak semudah dulu ketika hendak memasukkan barang atau bahan baku kebutuhan industri lantaran kini ada pembatasan kuota.

“Saya harus dapat perizinan kemenertian pusat, padahal (Batam) sebagai FTZ bukan kepabeanan,” sebutnya seraya menyindir adanya kewenangan tak terlihat selama ini. Sehingga menghambat proses produksi.

Edy mengaku telah mengeluhkan persoalan terkait ke Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Bahkan, menurutnya, BP Batam telah meminta pengecualian ke Menteri Perdagangan. “Saya sudah ketemu (menteri) perdagangan. Dia akan berikan pengecualian, jadi semua kewenangan akan dilimpahkan ke saya (BP Batam),” ungkapnya. (net-red).

Meski demikian, semua statepmen dari kedua pejabat kepala BP Batam ini diduga hanya hisapan jempol belaka, atau pencitraan di media saja, yang hingga selama mereka menjabat lahan tidur dimaksud masih tetap tidur.

Walikota Resmi Menjabat Ex-Officio Kepala BP Batam.

Hingga saat ini, meski Walikota Batam, Muhammad Rudi resmi menggantikan Edy Putra Irawady yang dilantik sebagai ex officio Kepala BP Batam di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Jumat (27/9) malam, lahan-lahan tidur itu pun masih tidur.

Bahkan, Rudi beserta jajarannya juga sudah berstatepmen pada bulan April 2021, lalu.

Kepala BP Batam, Muhamad Rudi, memastikan, pihaknya tengah menyelsaikan sengkarut masalah lahan di Batam, Kepulan Riau (Kepri), yang telah terjadi sejak lama. Ia pun menjamin, bagi para investor yang ingin mengurus Penetapan Lokasi (PL), untuk investasi di Batam.

“Evaluasi ini menyangkut beberapa tudingan terhadap BP Batam yang terkesan tumpang tindih dalam menerbitkan Penetapan Lokasi (PL) kepada pihak pengembang. Proses evaluasi dan eksekusi kepada pemilik PL yang jadi lahan tidur di Kota Batam juga butuh waktu lama,” katanya, Selasa (27/4).

Rudi menjelaskan, masalah sengketa lahan di Batam kerap kali muncul lantaran pengembang yang melakukan permohonan PL awal hanya membayar biaya Uang Wajib Tahunan (UWT) BP Batam atas lahan tersebut sebesar 10%, namun tidak ke proses selanjutnya.

“PL hanya dapat dilakukan atas lokasi yang telah lunas pembayaran UWT. Sementara PL ada masa berlakunya, akan berakhir apabila tidak diperpanjang kontraknya. Itu yang akan ditertibkan dalam kurun waktu tertentu, dengan harapan semoga lahan tidur dapat dimanfaatkan semestinya,” ujarnya.

Rudi mengakui persoalan lahan tidur di Batam yang terjadi tidak hanya rumit, namun juga menyangkut ranah hukum. Makanya, mesti cermat dalam penanganannya. Diperkirakan penyelesaian sejumlah lokasi potensial yang jadi lahan tidur ini, dapat memakan waktu hingga 4 bulan ke depan.

“Pada prinsipnya, BP Batam hanya ingin menertibkan lahan tidur yang selama ini disebut telah diterbitkan PL atas lahan tersebut. Singkronisasi PL juga dilakukan untuk mengetahui telah ditandatangani oleh pengguna lahan dan Badan Pengusahaan Batam,” ujarnya.

Direktur Pengelolaan Lahan BP Batam, Ilham Eka Hartawan, menjelaskan, tantangan dalam penyelesaian persoalan lahan tidur yang dilakukan adalah minimnya informasi atau keberadaan pihak perusahaan pengembang. Atau bahkan data perusahaan pengembang yang tidak terbarukan.

“Ada juga beberapa ditemukan PL telah berpindah tangan dari perusahaan satu ke perusahaan lainnya, namun dalam waktu yang lama tidak dibangun atau dilakukan kegiatan di atas lahan tersebut. Otomatis kontrak berakhir dan BP Batam dapan menarik PL tersebut,” ungkapnya. (Gatra.com).

Hingga berita ini diunggah, Direktur Lahan BP Batam belum merespon pesan WhatsApp konfirmasi yang kirimkan awak media ini

Edior red
Liputan Don.