Lebong, Sentralnews.com – Belum juga rampung hasil penyelidikan polisi terkait insiden keracunan makanan bergizi gratis (MBG), kini mencuat fakta baru yang tak kalah mengejutkan. Dapur MBG yang dikelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Desa Lemeu Pit, Kecamatan Lebong Sakti, ternyata beroperasi tanpa mengantongi Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Sabtu (13/9/2025).
Padahal, SPPL merupakan dokumen vital sebagai bentuk kesanggupan pelaku usaha dalam menjaga lingkungan agar terbebas dari pencemaran, sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lebong, Rizal, ST, dengan tegas mengungkapkan bahwa hingga kini pihaknya belum pernah menerbitkan izin SPPL untuk dapur MBG yang beraktivitas di Lebong Sakti.
“Sampai hari ini, kami belum pernah menerbitkan SPPL untuk dapur MBG di wilayah Lebong Sakti,” tegas Rizal, pada beberapa hari lalu.
Rizal menambahkan, ketiadaan SPPL bukan sekadar persoalan administratif, tetapi juga berpotensi melanggar aturan. Bahkan, usaha yang berjalan tanpa dokumen tersebut bisa dikategorikan ilegal.
Sebagai informasi, SPPL merupakan kewajiban mutlak bagi setiap pelaku usaha, baik skala kecil, menengah, maupun besar. Hal ini jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
SPPL sendiri berfungsi sebagai komitmen resmi dari pengelola usaha untuk mengendalikan dampak lingkungan atas aktivitas yang mereka lakukan.
Lebih jauh, Rizal mengingatkan sejak awal launching MBG pihak DLH sebenarnya sudah melakukan koordinasi dengan pengelola SPPG. Fokus pembahasan kala itu terkait limbah makanan dan sampah yang dihasilkan dari aktivitas dapur. Namun, sampai hari ini tidak ada tindak lanjut dari pihak pengelola.
“Saat kegiatan launching MBG pertama kali, kami sudah berkoordinasi dengan pihak pengelola terkait pengelolaan sampah dari dapur MBG. Sayangnya, tidak ada tindak lanjut dari pihak SPPG Lebong Sakti,” bebernya.
Rizal menegaskan, tanpa dokumen SPPL, DLH tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan pengawasan. Kondisi ini jelas berisiko, apalagi dapur MBG cukup intens beroperasi setiap hari dalam penyajian makanan bergizi untuk siswa-siswi di Kabupaten Lebong.
“Apabila pelaku usaha tidak memiliki SPPL, artinya usaha yang digeluti termasuk ilegal,” lugasnya.
DLH pun mengingatkan seluruh pengelola usaha, baik swasta maupun program sosial, untuk tetap patuh aturan.
“Kami berharap, bagi pelaku usaha lain agar dapat mengajukan permohonan penerbitan SPPL, sehingga usaha yang digeluti dinyatakan legal dan bisa kami awasi,” pungkas Rizal.
Meskipun demikian, keracunan massal ini justru belum diketahui ujung pangkalnya, dan bahkan masih menyisakan pertanyaan di kalangan masyarakat.
Sontak, pernyataan tersebut muncul terkait perkembangan dan keputusan akhir soal penangangan dari sejumlah pihak, atas terjadinya musibah yang mengakibatkan, setidaknya ratusan generasi anak bangsa yang diduga mengalami keracunan usai santap menu MBG.
Ketegasan dari pihak Aparat Penegak Hukum, soal perkembangan penanganan keracunan Massal yang diduga dari MBG ini, diketahui belum ada keterangan resmi yang disampaikan di hadapan publik terkait perkembangan dan sejauh mana penanganannya.
Selain itu juga, hingga sampai saat ini, pihak dari pengelola dapur MBG sendiri, seolah-olah diam dan tidak bisa dimintai keterangan lebih lanjut mengenai kejadian keracunan massal yang terjadi beberapa waktu lalu, yang mana tercatat hampir 500 generasi anak bangsa mengalami keracunan massal. (FR)