Sentralnews.com – Di Inderapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, sebuah tradisi pernikahan unik terus hidup di tengah arus modernisasi, Marapulai Basuntiang. Tradisi ini bukan sekadar pesta pernikahan, ia adalah panggung adat yang memadukan sejarah, kehormatan, dan simbolisme budaya yang kaya.
Dalam tradisi Marapulai Basuntiang, pengantin laki-laki mengenakan suntiang, mahkota yang biasanya identik dengan perempuan. Bagi masyarakat luar, hal ini mungkin terdengar aneh. Namun bagi masyarakat Inderapura, suntiang bagi marapulai adalah simbol keagungan, tanggung jawab, dan kesetaraan dalam ikatan pernikahan. Ia menjadi lambang bahwa suami juga harus siap menanggung beban rumah tangga, sama beratnya dengan hiasan suntiang yang dikenakan di kepala.
Sejarah tradisi ini tak bisa dilepaskan dari jejak Kerajaan Inderapura yang pernah berhubungan erat dengan Banten dan Aceh. Wilayah pesisir ini dulu menjadi simpul perdagangan penting, tempat bertemunya berbagai budaya dan agama. Karena itulah, tradisi pernikahan di Inderapura menunjukkan jejak akulturasi yang kental, antara adat Minangkabau, Islam, dan pengaruh luar seperti Melayu dan Aceh.
Rangkaian Marapulai Basuntiang dimulai jauh sebelum akad nikah. Ada masa pingitan, di mana calon pengantin perempuan dijaga dengan ketat agar tetap cantik, sehat, dan terhindar dari gangguan. Setelah itu dilakukan Batimbang Tando, yaitu perundingan dua keluarga besar untuk menyepakati tanda ikatan pernikahan. Semua proses ini dilakukan dalam musyawarah, sesuai dengan nilai dasar masyarakat Minang: duduak samo randah, tagak samo tinggi.
Ketika hari pernikahan tiba, suasana nagari berubah semarak. Musik Badiki menggema, selawat Nabi dilantunkan, dan aroma masakan bajamba menyatu dengan tawa kerabat yang datang dari jauh. Di puncak acara, marapulai diarak mengenakan suntiang, berjalan di bawah payung kuning yang dikibarkan tinggi. Bagi masyarakat, momen itu adalah puncak kehormatan.
Tradisi ini juga menyiratkan nilai spiritual yang dalam. Dalam prosesi saling suap nasi daun setelah akad, kedua pengantin belajar tentang makna kesetiaan, tanggung jawab, dan keseimbangan. Sementara pada acara Manjalang Mintuo, pengantin perempuan datang membawa kue ke rumah mertua, tanda bakti dan silaturrahmi yang mempererat dua keluarga besar.
Marapulai Basuntiang bukan sekadar simbol eksotis dari masa lalu. Ia adalah refleksi dari kebijaksanaan lokal, bahwa cinta, kehormatan, dan tanggung jawab harus dibangun dengan kesetaraan. Di tengah modernitas, tradisi ini menjadi cermin betapa masyarakat Minangkabau mampu menjaga nilai-nilai lama tanpa kehilangan relevansinya.
Oleh: Avina Amanda




















