Kebebasan berpikir dan berpikir bebas adalah suatu yang berbeda teks dan konteksnya. Tapi, banyak sekali mereka yang marah kepada kelompok yang mendukung kebebasan berpikir, mereka dianggap sebagai kelompok yang berpikir bebas.
Padahal kebebasan berpikir sejatinya adalah fungsi genuine dari diri manusia dalam mengembangkan kapasitas berpikirnya, sementara berpikir bebas adalah berpikir tanpa menggunakan metodologi berpikir.
Kejadian seperti ini juga sering terjadi pada kelompok pemikir keagamaan; yaitu dengan tuduhan-tuduhan yang mengerikan : kelompok sesat, kafir, perusak agama, dan sebagainya.
Tuduhan tersebut dapat dimaklumi karena seringkali kelompok kebebasan berpikir melontarkan pikiran-pikiran yang melawan mainstream.
Tapi terlepas dari itu semua, baik yang menuduh maupun yang tertuduh selagi masih didasari oleh kejujuran intelektual dan proses mediasi dialog masih tersedia maka justru hal tersebut produktif bagi pengembangan peradaban. Selanjutnya kerja pikir, mampu menghasilkan pemikiran yaitu sebuah pemikiran yang telah berproses melalui dialektika-dialogis bukannya dari kebencian dan hegemoni kekuatan.
Pikiran singkat ini Azam tulis karena kecewa dengan proses diskusi yang membahas tingkat fungsionalitas agama dalam meresponi maraknya issue radikalisme-terorisme di negeri Pancasila. Diskusi ini diadakan awalnya hanyalah untuk kembali menyegarkan fungsi agama disebuah negara yang terdominasi oleh politik. Sehingga seringkali agama pun berada pada subordinasi politik. Namun entah mengapa pemantik diskusi, dengan kepiawaiannya, berhasil mengarahkan forum diskusi ke issue tersebut.
Bagi Azam, agama harusnya menjadi mata air penyegar di tengah bisingnya wacana politik. Agama tidak elok kalau ia justru menjadi sumber konflik yang merusak bangunan transformasi sosial.
Tapi, ketika upaya untuk menikmati kesegaran agama dilakukan bisa saja konflik akan terjadi, makanya pandangan di paragrap awal tulisan ini ditulis oleh Azam.
Berpikir memang sudah menjadi polemik bagi banyak kalangan sejak dari dulu. Dan sejatinya berpikir terjadi karena manusia punya keinginan dan kebutuhan. Dorongan yang cukup besar untuk memperoleh keinginan dan kebutuhan ini yang mengaktifkan potensi pikir. Selain dari keinginan dan kebutuhan, juga imajinasi menjadi faktor terpenting dalam berpikir. Dengan demikian, dikarenakan oleh hal tersebut, maka tak ada manusia yang tak diberi piranti pemikiran oleh Sang Pencipta.
Hingga berpikir menjadi objek bagi manusia untuk dijadikan bekal hidup dan ia merupakan sebuah jembatan yang mempermudah manusia dalam menyeberangi sungai persoalan. Nah, kalau pengibaratannya seperti ini maka dapat dikatakan bagi mereka yang salah dalam membangun jembatan, dapat dipastikan ia tak akan dapat menggunakan jembatan tersebut yang mengakibatkan manusia gagal menyeberangi sungai persoalan.
Selanjutnya, Azam membaca ulang tulisan itu. “Waduuuh, apakah serumit itu kerja pikir?”, tanya Azam dalam hati. “Bagaimana dengan mereka yang tidak menikmati bangku sekolah, apakah mereka punya cara pikir yang tepat?”. “Apakah kemampuan berpikir berbanding lurus dengan persoalan hidup yang dialami?”. Demikian, berbagai pertanyaan muncul dikepala Azam, setelah membaca ulang tulisannya dan pertanyaan yang paling rumit adalah “Siapakah yang “menuntun” cara berpikir?, metodologikah?, Tuhankah?, atau pikiran itu mengalir saja secara alamiah?.
Selanjutnya Azam melipat catatan dan menyimpan dengan rapi di kantong bajunya. “Tulisan ini mesti disempurnakan dengan melibatkan banyak pihak”, gumam Azam.
Maka, berjalanlah ia menemui pihak-pihak yang dianggap bisa membantunya.
Berikut adalah pandangan dari para pihak atas tulisan Azam :
Pertama yang mewakili kaum literal-skripturalis.
“Manusia itu mempunyai keterbatasan dalam berpikir dan dengan demikian ia dapat menyesatkan manusia. Oleh karena itu ikuti saja petuah Wahyu Illahi”. Karena Tuhan adalah Maha Pencipta maka Ia lebih mengerti dengan ciptaanNya maka Wahyu merupakan teks penuntun hidup termasuk pikiran”.
Selanjutnya yang mewakili kaum moderat-substansialis.
“Pikiran adalah piranti kemanusiaan yang mampu menembus kulit simbolik sehingga pikiran yang mampu menguliti simbol tersebut akan menikmati kelezatan inti-maknawi. Manusia seperti ini adalah manusia yang mengejawantahkan dirinya dalam baju khalifah”.
Kemudian yang mewakili kaum awam.
“Bagi kami berpikir adalah bagaimana cara mengatasi serbuan tekanan hidup. Tak begitu penting pikiran itu kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar pun harus kami peroleh dengan cara-cara haram. Berpikir hanya menghabiskan waktu saja. Pikiran akan terasa bermanfaat bila penderitaan hidup pergi meninggalkan kehidupan kami.”
Lalu yang mewakili kaum birokrat .
“Bagaimana kami akan mengolah pikir sementara rutinitas memenjara pekerjaan dengan aturan-aturan rigid berbalut sangsi. Kami punya budaya tersendiri yaitu pola hidup yang setiap item kerja telah diatur oleh “kekuasaan”. Ruang bebas yang kami punyai hanya ada di awal bulan ketika insentif memasuki nomor rekening”.
Kemudian yang mewakili kaum terpelajar .
“Tujuan utama belajar justru untuk menumbuhkembangkan pemikiran dan sekolah adalah medianya. Karena itu kaum terpelajar dibebani tugas untuk melakukan transformasi sosial. Pikiran bagi kaum terpelajar merupakan senjata-analisa yang digunakan untuk membaca perusak transformasi sosial”.
Selanjutnya yang mewakili pekerja sosial .
“Fungsi utama kami adalah membuka wawasan kaum tertindas atas ketertindasan yang dideritanya. Oleh karena itu proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan menumbuhkan pikiran-pikiran kritis; pikiran yang membangkitkan jiwa perlawanan; pikiran yang membebaskan dari belenggu kebodohan akibat hegemoni kekuatan struktural”.
Demikianlah beberapa pandangan para pihak terhadap tulisan Azam, namun tidak juga mampu menjadi referensi penyempurna catatan. Justru kekacauan dan tumpang-tindih perspektif terjadi yang mengakibatkan tulisan Azam semakin “tidak diminati untuk dibaca”.
Eehhh… Ternyata masih ada satu pihak yang dimintai pendapat oleh Azam, yaitu:
Terakhir yang mewakili kaum Tidak Waras.
“Kami dituding sebagai manusia yang tidak punya kendali-pikir, diberi status sebagai warga negara tak berguna. Tapi tahukah kamu wahai Azam bahwa kami adalah makhluk paling merdeka; merdeka dari kewajiban pikir yang bisa membuat orang menjadi gila. Kami menikmati hidup dengan sempurna yaitu hidup tanpa beban tanggung jawab.”
“Tapi jangan kau kira kami tidak mampu berpikir, hanya saja, wahai Azam, kau tidak akan mampu menganalisa cara kami berpikir, cara kami mengambil kesimpulan. KAU TAK AKAN MENGERTI.
Woooowww…
Azam, karena itu semua, mengambil spidol bertinta merah dan memberikan tanda silang besar pada catatannya.
Dan menuliskan dengan huruf besar sebuah kalimat:
BERPIKIR HANYALAH GUYONAN TUHAN KEPADA MANUSIA DAN TERNYATA TIDAK BANYAK MANUSIA YANG MAMPU MENANGKAP KELUCUANNYA, SEHINGGA KETAWA BERUBAH MENJADI DITERTAWAI.