Suntiang di Kepala Marapulai: Simbol Kesetaraan dan Kehormatan Lelaki Minang

Sentralnews.com Bila di banyak daerah suntiang menjadi identitas perempuan, di Inderapura, Pesisir Selatan, hiasan megah itu justru bertengger di kepala pengantin laki-laki. Fenomena ini bukan penyimpangan, tetapi wujud kearifan lokal yang menyimbolkan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan rumah tangga.

Suntiang bagi marapulai bukan sekadar hiasan emas, melainkan simbol tanggung jawab. Beratnya suntiang menggambarkan beratnya amanah seorang suami, memimpin dengan kasih, menjaga kehormatan keluarga, dan melindungi istrinya. Seorang tetua adat di Inderapura pernah berkata, “Suntiang di kepala marapulai bukan untuk memperindah, tapi untuk mengingatkan, bahwa menjadi suami bukan perkara mudah.”

Prosesi Marapulai Basuntiang berlangsung dalam suasana adat yang sakral. Setelah akad nikah, marapulai diarak keliling kampung dengan suntiang di kepala, diiringi musik Badiki dan selawat Nabi. Arak-arakan ini menunjukkan keterlibatan masyarakat luas dalam menyambut pernikahan, menandakan bahwa perkawinan bukan hanya urusan dua insan, tetapi penyatuan dua kaum.

Dalam pesta bajamba, kerabat dan warga duduk bersila menikmati hidangan bersama di satu talam. Tidak ada pembedaan status atau kedudukan, semua sama di hadapan adat. Inilah semangat demokrasi Minangkabau yang hidup dalam tradisi pernikahan.

Busana pengantin perempuan pun tak kalah mempesona. Anak daro mengenakan baju kurung dari beludru merah bersulam benang emas, sementara pelaminan dihias tabir dan langik-langik yang menjulang. Tapi yang membuat tradisi ini unik adalah bagaimana laki-laki dan perempuan tampil sejajar dalam simbol kebesaran. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Di masa kini, sebagian orang muda menganggap Marapulai Basuntiang sebagai tradisi yang kuno atau berlebihan. Namun jika dicermati, pesan moralnya sangat modern, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang setara dalam membangun keluarga. Tradisi ini justru lebih progresif dibanding banyak budaya lain yang masih menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap.

Suntiang di kepala marapulai mengajarkan bahwa kekuasaan tidak berarti dominasi, melainkan tanggung jawab yang berat. Ia menandai kematangan seorang lelaki untuk berperan sebagai pemimpin yang adil, bukan penguasa. Dalam keheningan pesta adat yang meriah, suntiang itu berbicara dalam bahasa simbol, tentang cinta, kehormatan, dan keseimbangan yang abadi.

Oleh: Avina Amanda