Batam, Sentralnews.com – Kasus insiden kecelakaan kerja di kota Batam kerap saja terjadi khususnya menimpa para buruh yang bekerja di perusahaan galangan kapal (Shipyard). Tak tanggung-tanggung, insiden lakakerja itu pun berakibat fatal hingga merengut nyawa para buruh.
Parahnya, kejadian insiden lakakerja yang terjadi itu tidak menjadi sorotan bagi para intansi terkait, untuk memperketat pengawasan terhadap penerapan K3 di perusahaan-perusahaan yang ada di Batam.
Seperti contoh, kasus insiden lakakerja yang baru-baru ini terjadi di PT ASL Shipyard dan PT Paxcean Tanjung Uncang nyaris hilang dari sorotan media-media. Sementara informasi dilapangan menyebutkan kasus insiden lakakerja di dua perusahaan kapal itu merengut nyawa karyawan.
Dikutip dari laman Kepripedia.com, Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Riau mendapat sorotan tajam dari serikat buruh. Mereka menilai kecelakaan kerja masih sering terjadi di perusahaan-perusahan, namuan tidak ada pengawasan yang jauh dari pihak Disnaker.
Sorotan ini di antaranya disampaikan oleh Ketua DPD FSP LEM SPSI Kepri, Saiful Badri. Ia menyayangkan Disnaker tidak menindaklanjuti kasus-kasus laka kerja yang terjadi dan melakukan fungsi dan tugasnya pengawasan di perusahaan.
“Ini masih ada kecelakaan kerja terjadi di PT ASL, di manakah pengawasan dari Disnaker selama ini,” kata Saiful, Jumat (5/11/2021).
Menurut Saiful kasus kecelakaan kerja harus dapat diusut tuntas ke akarnya, supaya jadi pedoman di kemudian hari dan tidak terus terulang.
“Kita minta kasus kecelakaan kerja harus ditindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” pinta dia.
Dia menilai Disnaker Provinsi Kepri dalam melakukan pengawasan kepada perusahan sangat lemah. Buktinya tidak ada sanksi yang diberikan apa bila perusahan tersebut melanggar.
“Sejauh mana peran Disnaker menyikapi kecelakaan kerja ini. Ini menyangkut nyawa orang. Pengawasan itu yang lemah,” beber dia.
“Jadi selama kecelakaan kerja di perusahaan tidak ada penindakan dari Disnaker. Kita akan kirim surat ke Kementrian untuk turun dan lakukan pemeriksaan karena daerah tak jalan,” imbuh dia.
Sementara itu, Pengajar hukum perburuhan Universitas Trisakti, Andari Yuriko Sari, mengatakan selama ini terjadi perdebatan soal siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi kecelakaan kerja? Sesuai UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pengusaha bertugas menyelenggarakan keselamatan kerja. Guna mencegah terjadinya kecelakaan kerja, pemimpin tempat kerja wajib menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja, baik dalam konteks mencegah kecelakaan kerja, mengatasi kebakaran, dan peningkatan K3, maupun memberi pertolongan pertama ketika terjadi kecelakaan.
Pengajar hukum perburuhan Universitas Trisakti, Andari Yuriko Sari, mengatakan selama ini terjadi perdebatan soal siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi kecelakaan kerja? Sesuai UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pengusaha bertugas menyelenggarakan keselamatan kerja. Guna mencegah terjadinya kecelakaan kerja, pemimpin tempat kerja wajib menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja, baik dalam konteks mencegah kecelakaan kerja, mengatasi kebakaran, dan peningkatan K3, maupun memberi pertolongan pertama ketika terjadi kecelakaan.
Andari memaparkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lebih tegas mengatur kewajiban pemberi kerja untuk memberi perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan mental dan fisik pekerja. K3 merupakan hak buruh yang harus dilindungi. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
Ketika buruh melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh pimpinan (majikan), dan terjadi kecelakaan kerja, kerap muncul pertanyaan siapa yang bertanggung jawab? Merujuk ketentuan UU Ketenagakerjaan, setiap kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja menjadi tanggung jawab perusahaan tempat pekerjaan itu dilaksanakan. Dalam kasus kebakaran pabrik kembang api di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, misalnya, perusahaan dapat dimintai tanggung jawab karena pekerjaan dilakukan di tempat tersebut. “Defnisi dalam UU Ketenagakerjaan sudah jelas, yang bertanggung jawab terhadap kecelakaan kerja yakni perusahaan dimana pekerjaan itu dilaksanakan,” kata Andari di Jakarta, Kamis (2/11).
Dosen Unika Atma Jaya Jakarta, Surya Tjandra, menyebut dalam kasus K3, buruh adalah orang yang diperintahkan bekerja, sehingga yang bertanggung jawab seharusnya orang yang memberikan atau menyuruh suatu pekerjaan dilakukan. Pekerja, kata dia, justru menjadi korban dalam kecelakaan kerja itu. “Perusahaan bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja. Perusahaan harus menanggung semua pekerja baik yang sudah atau belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan,” urainya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Hadi Subhan, mengatakan dalam hal pekerja menjalankan perintah pimpinan untuk melakukan suatu pekerjaan, kemudian mengakibatkan kecelakaan kerja, maka yang bertanggung jawab atas peristiwa itu adalah pihak yang memberi perintah. Buruh tak bertangung jawab secara perdata atau pidana karena menjalankan perintah atasan. “Yang bertanggung jawab ini bisa pemilik perusahaan atau direkturnya karena tidak menerapkan sistem manajemen K3 di perusahaan,” paparnya.
Hadi mengingatkan Pasal 1367 BW (KUH Perdata) yang menegaskan majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu. Pasal ini membuat majikan tidak bisa lepas tanggung jawab dalam hal terjadi kecelakaan kerja. Selain itu Hadi mengingatkan, buruh yang mengalami sakit akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja tidak boleh diputus hubungan kerjanya (PHK). Hal itu sebagaimana amanat pasal 153 ayat (1) huruf j UU Ketenagakerjaan.
Berkaitan dengan tanggung jawab pidana, polisi sudah memeriksa sejumlah saksi. Penyidik sudah menetapkan tiga orang tersangka atas kebakaran pabrik kembang api di Kosambi. Surya melihat langkah kepolisian ini menunjukkan aparat lebih mengedepankan proses pidana ketimbang pemenuhan hak buruh sebagai korban. Ia berharap proses pidana itu bukan sekadar mencari bukti siapa yang membuat kelalaian sehingga terjadinya kecelakaan kerja, tapi juga prosesnya harus bisa digunakan untuk proses klaim guna memenuhi hak pekerja.
Dalam konteks proses pidana tersebut, Andari mengatakan harus dibuktikan terlebih dulu apa benar kecelakaan kerja itu terjadi karena pekerjaan yang dikerjakan buruh yang bersangkutan atau ada penyebab lain. Ketika ada putusan pidana yang menyebut buruh bersalah, pemberi kerja bisa melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat.
Hadi berpendapat munculnya kasus K3 selama ini merupakan masalah akut di bidang ketenagakerjaan karena petugas pengawas tidak berfungsi. Peran pengawas harusnya preventif, untuk mencegah terjadinya masalah K3. Praktiknya, fungsi pengawas saat ini lebih ke arah reaktif, padahal ini ranah pengadilan dalam rangka perlindungan hukum represif. Jadi, kasus-kasus kecelakaan kerja tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada perusahaan atau direksinya, tetapi juga menunjukkan kurang berfungsi pengawasan Disnaker.
Editor red**