Kisah Negeri Bengkulu ini jarang dikuak. Mungkin generasi yang ada kurang minat akan history Negeri Lu-Shiangshe.
Kata Lu-Shiangshe (Bhs: China klasik) berarti sungai harum atau wangi (Letterlijk). Secara terminologi, yang dimaksud dalam bahasa China tersebut berarti negeri Sungai Kejayaan atau Sungai yang memberi kehidupan/ harapan atau Sungai Emas. Tulisan kali ini hanya menambah dan mengulas dari tulisan sebelumnya tentang Negeri Bengkulu yang disebut
Negeri Lu-Shiangshe. Sekarang negeri itu masuk wilayah Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara. Dalam sebuah naskah kuno yang ditemukan Tahun 116 sM di Tibet (Sekarang masuk wilayah RRC) berjudul “Berniaga Kenegeri China“, dibawa pulang oleh para pedagang pelintas batas jalur sutra ke India. Hingga kini, naskah tersebut masih tersimpan rapih disebuah Kuil di negeri seribu dewa itu.
Naskah “Berniaga Kenegeri China“ banyak bercerita tentang “Negeri Lu-Shiangshe diseberang laut, Phaalas (Sumatera) yang makmur, perniagaannya menggunakan emas”.
Negeri Lu-Shiangshe ini diperkirakan atau setidak-tidaknya telah ada bersamaan dengan keberadaan negeri Andripura (Indrapura), Maco (Muko-muko), Tapan (Nampan), dan Ippoh (Getah yang beracun), negeri-negeri yang telah sejak lama ada di pesisir pantai barat Pulau Sumatera.
Munculnya negeri-negeri selain Lu-Shiangshe, karena tidak semua penduduk atau kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis terkonsentrasi pada suatu daerah, mereka menyebar dan membangun perkampungan-perkampungan dengan marga (Pasar) sendiri.
Negeri Lu-Shiangshe mengalami pralaya (Bencana akibat tsunami dan gelombang laut setinggi + 11,4 meter), disusul dengan gempa berkekuatan 9,2 skala richter yang meluluh lantakkan negeri pada Tahun 198 Masehi. Masyarakat Bengkulu menyebutnya negeri itu dengan kata Lusang dan sekarang kita hanya mengenal nama sungai Lusang, aliran anak sungai yang terdapat di penambangan emas Lebong Tandai, Ketahun Kabupaten Bengkulu Utara.
Rainam Khaporr, seorang Khan-khaan (Bahasa Persia Saudagar) India Selatan menceritakan tentang adanya Negeri Lu-Shiangshe dalam sebuah bukunya “Menuju Samudra” (Menuju Nusantara), ditulis Tahun 175 Caka atau 253 Masehi. Ditulis kembali (Disalin) pada Tahun 742 M. Dalam catatan itu disebutkan bahwa negeri itu hancur ditelan gelombang badai dahsyat pada Tahun 198 M.
Bencana besar yang terjadi pada Tahun 198 Masehi itu juga dialami di Negeri Phalimbham dan Phanaitan dipesisir selatan Provinsi Banten. Sejarah Maritim Indonesia menyebutkan, hampir semua penduduk yang berada dipesisir Provinsi Banten bagian barat, pesisir Bandar Lampung bagian selatan dan negeri Lu-Shiangshe di Provinsi Bengkulu mengalami bencana gelombang laut dan gempa yang dahsyat, sehingga menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Untuk Negeri Lu-Shiangshe (Bengkulu), penduduk yang selamat dari pralaya Tahun 198 M mendirikan negeri-negeri (Kelompok masyarakat baru) seperti Ra-Pa-Sh (Serapas), Pa-U’ (Pauh) dan Pa-Liu (Palik). Negeri (Perkampungan) Pa-U’ didirikan pada Tahun 750 Imlek atau 199 M di daerah pesisir pantai Pasar Pedati, Coko, hingga Desa Pondok Kelapa sekarang.
Pada awalnya Negeri Pa-U’ hanya berpenghuni sebanyak 171 Kepala Keluarga yang selamat dan mengungsi kearah selatan (Dekat Kota Bengkulu sekarang). Mereka mendirikan negeri (Perkampungan) Pa-U’ pada Tahun 750 Imlek atau 199 M di daerah pesisir pantai Pasar Pedati, Coko, hingga Desa Pondok Kelapa sekarang.
Chung Ku-o Jen (Sebutan etnis China asli) yang membangun Negeri Pa-U’ tersebut, nampaknya terdiri dari dua marga besar, yaitu marga Tan sebanyak 86 KK dan Marga Lie sebanyak 85 KK.
Chung Ku-o marga Tan yang semula mendiami Pa-U’ bersama marga Lie, selanjutnya mendirikan perkampungan baru sendiri pada Tahun 755 tahun Imlek atau 204 M. Negeri itu mereka sebut dengan Pa-Liu (Palik sekarang).
Kedua Negeri Pa-U’ dan Pa-Liu secara umum berpenduduk etnis China, namun disana juga terdapat etnis lainnya seperti India, Arab dan Srilangka yang beragama Hinddhu-Bhuddha (sycretisme). Mata pencariannya adalah mendulang emas, mencari batu mulia serta bertani.
Negeri ini terletak dipesisir barat Pulau Sumatera. Chung Ku-o Jen yang datang kesitu berasal dari Negeri Hyunan (China daratan), menggunakan bahasa Mon, bahasa yang menyebar keberbagai negeri di Thailand, Birma, Kamboja dan sebagian Korea.
Seorang pedagang (khan khaan) India lainnya bernama Rafjifni kelahiran Yaffana India, pada Tahun 535 Caka atau 613 Masehi, dalam sebuah naskah klasik ”Berlayar Kenegeri Emas” bertuliskan Hindhustan India, ditemukan pada Tahun 1328 Caka atau 1406 M di Madura India menyebutkan, adanya penduduk etnis China dipesisir barat Negeri Bengkulu.
Naskah itu hanya menyebutkan adanya negeri disekitar Negeri Lu-Shiangshe (Negeri yang telah hancur) seperti Ra-Pa-Sh, Pa-U’ dan Pa-Liu, negeri Ippoh dan Moco (Muko-muko).
Dalam tulisan Rainam Khaporr seperti disebutkan diatas, negeri itu hancur ditelan gelombang badai dahsyat pada tahun 198 M. Laporan atau catatan-catatan pelayaran yang dibuat oleh pelaut-pelaut tempo dulu, tidak saja dijadikan informasi dalam penyusunan buku sejarah, tetapi catatan pelayaran itu juga banyak digunakan dalam pembuatan peta-peta klasik suatu daerah atau tempat-tempat di dunia ketika masa itu. Catatan pelayaran juga digunakan dalam pengembangan ekonomi nasional (Kerajaan) suatu bangsa.
Pasca Pralaya, Negeri Ra-Pa-Sh’ (Serapas) 199 M
Chung Ku-o Jen yang selamat dari pralaya negeri Lu-Shiangshe pada tahun 749 Imlek atau 198 M, berjumlah 255 Kepala Keluarga (KK) dan kembali mendirikan negeri yang mereka sebut dengan kata Ra-Pa-Sh’. Artinya negeri Ra – delapan empat (Bhs:China klasik), penduduk menyebutnya dengan kata Serapas negeri yang dihuni oleh penduduk sejumlah 84 bubungan rumah atau 84 Kepala keluarga (KK).
Rejang Ra-Pa-Sh’ hingga kini masih mendiami daerah Sebelat dan Kurinci yang tidak begitu berjauhan letaknya dari Negeri Lu-Shiangshe tempo dulu di Kabupaten Bengkulu Utara. Mereka pada umumnya adalah petani dan nelayan.
Masyarakat Ra-Pa-Sh’ dari generasi kegenerasi tidak pernah meninggalkan negerinya (Beranjak kenegeri lain) keluar Provinsi Bengkulu. Mereka menetap disuatu negeri dan hingga sekarang. Berbeda dengan masyarakat Pa-U’ dan Pa-Liu yang bermata pencarian utama pendulang emas dan batu mulia. Mereka juga bercocok tanam (Bertani). Berburu hewan rimba merupakan bagian pekerjaan sampingan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari.