Seluma, Sentralnews.com — Dua puluh dua tahun sudah Kabupaten Seluma berdiri sendiri, setelah resmi dimekarkan dari Bengkulu Selatan pada tahun 2003. Kala itu, pemekaran diharapkan menjadi jalan menuju kemandirian: agar Seluma dapat mengurus rumah tangganya sendiri, menjemput kesejahteraan, dan menghadirkan pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyat, sebagaimana semangat otonomi daerah.
Sebagian besar masyarakat Seluma hidup sebagai petani, pekebun, dan nelayan. Dari tanah dan laut mereka menggantungkan harapan. Dari generasi ke generasi, janji kemajuan selalu digaungkan setiap kali roda kepemimpinan berganti. Namun, dua dekade lebih berlalu, muncul satu pertanyaan mendasar:
Sudahkah cita-cita pemekaran benar-benar menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Seluma?
Wacana Tambang Emas: Harapan atau Bencana yang Disamarkan?
Belakangan, nama Bukit Sanggul menjadi sorotan. Gunung yang tenang itu kini digadang-gadang akan menjadi sumber kemakmuran baru melalui tambang emas. Pemerintah daerah menilai, investasi tambang bisa mendongkrak pendapatan asli daerah dan membuka lapangan kerja.
Namun, masyarakat Seluma masih menyimpan trauma lama. Sebab, ini bukan kali pertama bumi Serasan Seijoan ditawari “emas” oleh para investor. Dulu, tambang batu bara dan pasir besi di pesisir Pasar Seluma hadir dengan janji serupa—hingga akhirnya ditolak karena merusak alam dan menimbulkan keresahan.
Kini pertanyaannya kembali bergema:
Apakah tambang emas akan benar-benar membawa kemakmuran, atau justru membuka lembaran baru penderitaan?
Setiap tambang selalu meninggalkan jejak — perubahan bentang alam, rusaknya sumber air, hingga konflik sosial. Apalagi, masyarakat Seluma sebagian besar menggantungkan hidup dari lahan pertanian. Jika hutan dan sungai rusak, siapa yang menjamin kehidupan mereka tetap berjalan?
Apakah kekayaan yang digali dari perut bumi akan benar-benar dirasakan oleh rakyat, atau justru mengalir ke luar daerah? Apakah masyarakat terdampak akan benar-benar diberdayakan, atau hanya dijadikan penonton dan buruh kasar di tanahnya sendiri?
Belajar dari Luka Daerah Lain
Ketakutan ini bukan tanpa dasar. Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah pernah mengalami hal serupa. Kekayaan alam mereka diambil, tetapi jejak yang tersisa hanyalah lubang tambang menganga, debu jalanan, dan laporan korupsi ratusan miliar.
Janji lapangan pekerjaan pun tak seindah yang dibayangkan. Sungai-sungai berubah warna, hasil pertanian menurun, dan masyarakat hanya mendapat pekerjaan sebagai penjaga, juru masak, atau buruh kasar.
Apakah Seluma siap menanggung nasib yang sama? Apakah masyarakat rela menukar udara segar dan sawah subur dengan debu tambang dan alat berat?
Seruan untuk Pemerintah dan Rakyat Seluma
Inilah saatnya pemerintah berhenti sejenak dan berpikir jernih. Jangan biarkan keputusan besar diambil tanpa kajian yang matang dan partisipasi rakyat.
Beberapa pertanyaan penting wajib dijawab secara terbuka:
Apakah wacana tambang ini benar-benar aspirasi masyarakat Seluma, bukan kepentingan segelintir pihak?
Apakah jaminan kesejahteraan dan kompensasi lingkungan sudah diikat dengan dasar hukum yang jelas?
Bagaimana dengan daerah penyangga dan nasib petani yang akan terdampak langsung?
Apakah strategi penyelamatan lingkungan telah disiapkan dengan baik?
Seperti disampaikan Sahipul Anwar, S.H., Direktur Green Sumatra, masyarakat Seluma harus berhati-hati agar tidak terbuai janji manis. “Banyak daerah di Indonesia yang kaya, tapi rakyatnya tetap miskin karena alamnya dieksploitasi tanpa kendali,” ujarnya mengingatkan.
Penutup: Ujian Sebuah Pemekaran
Pemekaran Seluma dua puluh dua tahun lalu adalah langkah berani menuju kemandirian. Namun kini, di persimpangan antara harapan dan godaan tambang emas, Seluma sedang diuji.
Apakah akan tetap berdiri di atas cita-cita kesejahteraan rakyat, atau tergelincir dalam pusaran eksploitasi yang sama seperti daerah lain?
Sejarah akan mencatat — apakah Seluma menjadi contoh daerah yang bijak menjaga alamnya, atau hanya menambah daftar panjang kabupaten yang tergoda emas, kehilangan masa depan.




















